Selasa, 28 April 2015

The History Of Java

HISTORY  OF  JAVA
History of Java merupakan buku asli Raffles (1817) yang terdiri atas dua volume, yaitu uraian inti tentang Jawa secara lengkap dan  informasi tambahan. Namun di dalam terjemahan ini, kedua volume tersebut  telah disatukan.
Raffles (1781-1826) mengawali kariernya  sebagai juru tulis sebuah perusahaan  Hindia-Timur (1795). Menurut sebuah biografi, Raffles dikenal sebagai seorang yang  tekun, rajin belajar, ulet, dan berkemauan keras. Raffles mempunyai  semua syarat sebagai penghasil mahakarya (masterpiece), sehingga  mahakarya "The History of Java" dapat terselesaikan.
Raffles pertama kali berada di Jawa (1811) berperan sebagai Lieutenant Governor  of Java yang bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal Inggris di India yaitu  Lord Minto (Sir Gilbert Elliot Murray-Kynynmond) yang kemudian meninggal pada tahun 1814 dan digantikan oleh Raffles. Namun pemerintahan Raffles hanya bertahan selama 5 tahun. Saat Jawa kembali ke tangan Belanda, Raffles tengah menggagas dan  mengerjakan proyek arkeologi dan botani di Jawa. Kemudian sampai tahun 1823  Raffles menjadi Gubernur di Bengkulu yang memang berdasarkan suatu perjanjian tidak diserahkan ke  tangan Belanda bersama Belitung,  dan Bangka.
Dalam hatinya, Raffles masih sangat menyukai Jawa dan ia membenci Belanda yang kembali berkuasa di Jawa. Pada tahun 1819 Raffles menjalin kerjasama dengan Tumenggung Sri Maharaja penguasa  Singapura dalam rangka menggagas pusat perdagangan di Pulau Singapura. Kerjasam itu membuat Inggris diizinkan mendirikan koloni di Singapura dengan syarat  Inggris melindungi para pedagang Singapura dari Belanda dan Bugis. Raffles bersumpah Singapura akan dijadikan koloni baru yang meskipun kecil, namun akan  jauh lebih maju dari Tanah Jawa yang dikuasai Belanda. Raffles berupaya keras mewujudkan sumpah. Sehingga  Singapura menjadi pusat perdagangan paling penting di wilayah Hindia Timur,  sampai saat ini.
Pada tahun 1823
Raffles meninggalkan Indonesia (Bengkulu) karena situasi politik. Tiga tahun kemudian, tepatnya sehari sebelum ulang tahunnya yang  ke-45, Raffles meninggal dunia. Meskipun ia meninggal dalam usia yang masih tergolong muda, telah banyak jejak yang ditinggalkan Raffles, antara lain :
1.      Menggagas berdirinya  Kebun Raya Bogor bersama ahli-ahli dari Inggris.
2.       Mendirikan Kebun  Raya dan kebun binatang yang terkenal di Singapura.
3.      Warisan budaya Jawa digali dan  ditemukan  atas prakarsa Raffles : Candi Borobudur (1814), Candi Panataran (1815), Candi Prambanan  (1815).
4.      Mendirikan Museum Etnografi Batavia.
5.      Berperan sebagai administrator  pemerintahan di Jawa dan Bengkulu.
Semua jejak dan karya Raffles itu terekam dalam buku History of Java yang juga merupakan referensi komprehensif tanah Jawa.
Secara garis besar, Raffles membagi bukunya ke dalam 2 jilid yang terdiri dari 11 Bab. Pada buku jilid 1 terdiri dari Bab 1 sampai Bab 7, sedangkan pada jilid 2 terdiri dari Bab 8 sampai Bab 11, yaitu sebagai berikut :
Bab 1     : Kondisi Geografis Pulau Jawa (termasuk di dalamnya keterangan geologi)
Bab 2     : Asal Mula Penduduk Asli-Jawa
Bab 3     : Pertanian di Jawa
Bab 4     : Manufaktur  (Industri) di Jawa
Bab 5     : Perdagangan di Jawa
Bab 6     : Karakter Penduduk di Jawa
Bab 7     : Adat Istiadat Penduduk di Jawa
Bab 8     : Ba hasa dan Sastra
Bab 9     : Agama
Bab 10   : Sejarah dari Awal-Munculnya Islam
Bab 11    : Sejarah dari Munculnya Islam-Kedatangan Inggris
Dan lampiran-lampirannya berjumlah 12 (Lampiran A-M), yang garis besarnya sebagai berikut :
Lampiran A      : Kemunduran Batavia
Lampiran B      : Perdagangan dengan Jepang
Lampiran C      : Terjemahan versi moderen Suria Alem (sebuah karya sastra)
Lampiran D      : Hukum pada Pengadilan Propinsi di Jawa
Lampiran E      : Perbandingan kosakata bahasa-bahasa suku di Jawa dan sekitarnya
Lampiran F      : Cerita Pulau Sulawesi dan perbandingan kosakata bahasa-bahasa suku
Lampiran G      : Angka-angka Candra Sengkala
Lampiran H      : Terjemahan Manik Maya
Lampiran I       : Terjemahan huruf prasasti Jawa dan Kawi Kuno
Lampiran J       : Pulau Bali
Lampiran K      : Instruksi Pajak
Lampiran M     : Memorandum tentang berat, ukuran, dll.
Pembahasan History Of Java
Tidaklah susah menemukan buku-buku yang mendeskripsikan keadaan Indonesia pada masa kolonial. Beberapa buku tersebut antara lain History of Sumatra karya William Marsden, History of The East Indian Archipelago karya John Crawfurd. Namun tidak ada dari deretan karya tersebut yang begitu monumental layaknya The History of Java, karya Thomas Stamford Raffles yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1817.
Monumentalnya karya Raffles ini dapat dilihat dari kerapnya The History of Java dijadikan acuan untuk menggambarkan Jawa pada masa kolonial, khususnya masa kolonialisme Inggris yang sangat singkat di Nusantara. Bernard H.M.Vlekke dalam karyanya, Nusantara, menyebut The History of Java sebagai “campuran menawan deskripsi ilmiah, apologi, atau yang di zaman modern disebut pelaporan cerdas.”. Karena pengakuan itulah Penerbit Narasi terdorong untuk menerbitkan The History of Java dalam bahasa Indonesia.
Tidak hanya itu saja, monumentalnya The History of Java juga ditopang oleh begitu kuatnya sosok Thomas Stamford Raffles sebagai penulis yang terlibat langsung dalam pemerintahan Hindia Belanda sebagai Gubernur Jenderal (1811-1816). Hal ini disebabkan oleh pandangannya atas Hindia Belanda yang begitu berbeda dibandingkan masa kolonial Belanda memegang pemerintahan. Begitu berpengaruhnya sosok Raffles direfleksikan pula oleh Drs.Syafruddin Azhar dalam Pengantar edisi Indonesia The History of Java.
Raffles bukanlah tokoh dalam sejarah Inggris yang berasal dari kelas bangsawan. Ayahnya, Benjamin Raffles hanyalah seorang tukang masak di sebuah kapal yang pada akhirnya menjadi kapten. Dan Ibunya, Anne Lyde Linderman.
Ketika Raffles masih muda, krisis ekonomi yang melanda Inggris memaksanya mencari pekerjaan untuk menyokong ekonomi keluarga. Dengan keuletan dan kecerdasannya ia berhasil menjadi Asisten Sekretaris pada sebuah perusahaan untuk wilayah Kepulauan Melayu, yang  pada akhirnya dipercaya sebagai Gubernur Jenderal oleh Lord Minto.
Menurut Vlakke, semasa pemerintahan Raffles khususnya di Sulawesi dan Kalimantan tidak lebih damai dibandingkan dengan masa kolonial Belanda. Misalnya saja di Sulawesi yang terjadi peperangan terus menerus dengan Bugis. Namun Raffles punya keistimewaan, ia membawa perspektif seorang humanis di Hindia Belanda dengan mengkritik keras metode yang digunakan oleh Belanda dalam menangani Hindia Belanda.Walaupun kemudian disebutkan dalam bagian awal The History of Java bahwa ia tidak bermaksud menggambarkan keseluruhan pemerintah Belanda di Hindia Belanda sebagai tiran dan perampok.
Raffles memulai kegubernurannya dengan tekad tegas menentang perbudakan dan berusaha memperbaiki nasib para budak dengan menetapkan pajak khusus dan upaya-upaya lain agar penduduknya berhenti memelihara para hamba\sahaya. . Hasilnya memang biasa-biasa saja, namun langkah tersebut tetap diingat sebagai langkah pertama menentang peninggalan “zaman emas masa silam” yang sangat patut dicela. Dan Raffles tidak pernah mundur dari tujuannya itu hanya karena perlawanan dari mereka yang ingin mempertahankannya, baik itu orang Eropa maupun Indonesia.
Di dalam The History of Java masalah perbudakan hanya disinggung secara singkat oleh Raffles namun tetap dengan keberpihakan yang jelas. Dan pada Bab II buku ini Raffles menyebutkan bahwa, “Pendudukan pulau ini oleh bangsa Inggris pada tahun 1811 menyebabkan masalah budak menjadi perhatian utama, meskipun kita tidak bisa langsung melarang perbudakan atau membebaskan para budak yang ada, namun kita bisa sedikit memperbaiki dan mengubah peraturan menyangkut praktek ini sehingga di masa depan seluruh budak dapat dibebaskan.”(hal.47)
Hal menarik lainnya adalah mengenai pendapat seorang Raffles tentang karakter orang Jawa. Berbeda dengan orang Belanda, Raffles melihat orang Jawa secara positif. Tidak ada lagi propaganda tentang orang Jawa yang malas, pemarah, dan pembohong sebagaimana yang biasanya dicitrakan kolonial Belanda. Mengenai pandangan orang-orang Belanda terhadap orang Jawa dapat dilihat pada catatan resmi yang diberikan oleh Residen Dornick dari Distrik Jepara pada tahun 1812. Dornick dalam catatan resminya, sebagaimana dikutip Raffles, menyebutkan bahwa, “Jika orang Jawa adalah orang yang berkelas, atau dalam keadaan yang makmur, maka mereka akan terlihat sebagai orang yang percaya takhayul, sombong, pencemburu, suka membalas dendam, kejam, dan bertindak seperti budak pada atasannya, keras dan kejam pada para bawahannya, dan pada orang-orang yang tidak beruntung yang tunduk dalam wewenang mereka, mereka juga malas dan lambat.”
Sebaliknya, Raffles menyebut masyarakat Jawa sebagai penduduk yang dermawan dan ramah jika tidak diganggu dan ditindas. Orang Jawa dalam hubungan domestik memiliki sikap baik, lembut, kasih sayang, dan penuh perhatian. Sedangkan dalam hubungan dengan masyarakat umum orang Jawa adalah orang yang patuh, jujur, dan beriman, memperlihatkan sikap yang bijaksana, jujur, jelas dalam berdagang dan berterus terang.
Perbedaan ini disadari oleh Raffles akibat dari kolonial Belanda yang melihat masyarakat Jawa secara parsial. Menurut Raffles, karakter sejati dari penduduk pribumi bukan yang tampak pada pemimpin kelas rendah yang tunduk pada otoritas bangsa Eropa. Raffles dengan brilian menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang orang Jawa harus lebih menitikberatkan pada golongan petani dan peladang, yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan jumlah populasi, dan ini diterima dan secara hati-hati diterapkan untuk kalangan yang lebih atas darinya.
Beberapa hal yang telah disebutkan itu  hanyalah menunjukkan sebagian kecil dari sikap seorang Raffles yang sangat jauh berbeda dari tokoh-tokoh sentral lain yang pernah memegang kuasa sebelumnya, misalnya J.P.Coen. Raffles juga melakukan reorganisasi lembaga-lembaga administratif dan peradilan di Jawa, reformasi sistem pajak dan cukai, dan revisi atas perjanjian yang mengatur hubungan pemerintah Batavia dengan raja-raja Jawa. Tapi The History of Java tidak semata-mata menjadi laporan hasil kerja Raffles. Buku ini juga mencatat berbagai hal tentang Jawa secara detil, meliputi masalah geografis, kependudukan, pertanian, perdagangan, adat istiadat, kesenian, bahasa, hingga agama, yang kemudian juga dilengkapi dengan gambar-gambar yang membantu deskripsi Raffles, sehingga membuat  The History of Java menjadi layaknya ensiklopedia tentang Jawa yang ditulis pada abad 19. Selain itu buku ini juga dilengkapi dengan lampiran tentang perbandingan kosakata bahasa Melayu, Jawa, Madura, dan Lampung. Begitu kayanya data dalam buku ini membuat sang penulis seakan-akan telah menulisnya berdasarkan observasi puluhan tahun. Wajar jika kemudian Raffles meyakini bahwa tak ada orang yang memiliki informasi mengenai Jawa sebanyak yang ia miliki.
Keterangan-keterangan dalam teks-nya dilengkapi dengan catatan-catatan kaki yang detail. Referensi berhubungan pada zamannya digunakannnya untuk memperkaya keterangan.
Saat Raffles memerintah di Jawa terjadilah letusan gunung api dengan energi terbesar di dunia dalam masa sejarah manusia : Tambora 1815 di Sumbawa. Dan, Raffles sangat detail menggambarkan peristiwa letusannya sampai efek-efek kerusakannya. Saya belum pernah menemukan keterangan lain sedetail keterangan Raffles tentang saat-saat letusan dahsyat Tambora tersebut.
Demikianlah sekilas memperkenalkan The History of Java (Raffles, 1817), sebuah buku tentang Jawa yang sangat berharga untuk dipelajari demi kepentingan masa kini.
Saat meninggalkan Jawa dan Sumatra, Raffles menangis meratapi alam dan penduduk yang dicintainya, yang dihentikannya dari perbudakan, yang digambarkannya sebagai "orang pribumi yang tenang, sedikit berpetualang, tidak mudah terpancing melakukan kekerasan atau pertumpahan darah".
"I believe there is no one possessed of more information respecting Java than myself." (Thomas Stamford Raffles, 1817).
HISTORY OF THE EAST INDIAN ARCHIPELAGO
Dapat kita ketahui bahwa yang paling banyak mengetahui sejarah terbentuknya Indonesia adalah justru kaum sejarawan yang bukan berasal dari Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya keterangan mengenai asal-usul terbentuknya Indonesia (The Idea of Indonesia) dari sejarawan asing yaitu Sejarah Pemikiran dan Gagasan karya R.E. Elson yang berusaha mengenalkan kembali serta mencari asal-usul dari gagasan terbentuknya Indonesia yang dimulai sejak pertengahan abad ke-19. Tidak hanya itu, ia juga menelusuri lebih jauh tentang berbagai jalan berliku yang telah dilalui Indonesia hingga mampu eksis sampai sekarang.
Menurut Elson esksistensi Indonesia menjadi suatu negara-bangsa merupakan sebuah keajaiban dan kemukjizatan. Hal yang menjadi pertimbangannya adalah banyaknya tantangan serta bentuk-bentuk pemerintahan yang dilaluinya teramat rumit dan musykil untuk dilalui. Misalnya saja kemunculan nama ‘Indonesia’ yang menjadi bahan silang pendapat antar sejarawan.
1.      JR Logan (sejawaran Belanda dan editor majalah The Journal of the Indian Archipelago and eastern Asia), disebut-sebut sebagai orang pertama yang menggunakan istilah “Indonesia” buntu nama penghuni dan wilayah gugusan nusantara secara geografis.
2.      Hal senada juga dikatakan Windsor Earl bahwa ”Indu-nesians” yang menerangkan penduduk kepulauan nusantara termasuk ciri etnografis yang merupakan bagian dari rumpun Polinesia yang berkulit sawo matang.
3.       Seorang antropolog Prancis, E.T. Hamy pada 1877 mendefinisikan kata ”Indonesia” sebagai rumpun pre-Melayu yang menghuni nusantara. Pendapat ini juga diikuti antropolog Inggris, A.H. Keane pada 1880.
4.      Multatuli (nama lain dari Eduard Douwes Dekker), melalui karya monumentalnya, Max Havelaar (1859) memperkuat teori Logan tersebut. Multatuli menyimpulkan bahwa semua yang digagaskan JR Logan merupakan sebuah potret otentik yang bisa kembali menggugah kesadaran yang semakin menguatkan seluruh masyarakat dunia bahwa pada dasarnya gagasan Indonesia terbentuk jauh pada abad-abad lampau.
5.      Terminologi Indonesia kemudian baru diberi makna politis (dalam bentuk 'Hindia' yang harus merdeka) oleh Abdul Rivai, Kartini, Soewardi Soeryaningrat, Douwes Dekker, Cipto Mangoenkoesoemo, dan lain-lain (1903-1913). Nama 'Indonesia' mulai santer di kalangan mahasiswa asal Indonesia di Leiden semasa Perang Dunia I sekitar 1917. Sam Ratulangie yang juga termasuk dalam kelompok peduli Indonesia di Belanda giat pula mempopulerkan nama Indonesia di tanah air. Misalnya ketika mendirikan perusahaan asuransi di Bandung dengan nama, Indonesia pada 1925.
6.       Indische Vereeniging, berubah menjadi Perhimpunan Pelajar Indonesia pada 1918. Namun dalam perkembangannya hingga kini, terminologi Indonesia lebih dilekatkan pada negara Indonesia. Indonesia dalam terminologi Logan berubah menjadi beberapa negara, termasuk Indonesia, Singapura dan Malaysia. Penang masuk Malaysia. Semenanjung Malaka dan Pulau Sumatra, yang kebudayaannya kental Melayu, terpisah menjadi dua negara. Papua Barat, yang sama sekali tak masuk dalam khayalan Logan, malah masuk wilayah Indonesia. Malaysia dan Indonesia menjadi dua negara berbeda karena mulanya mereka disatukan secara administrasi oleh dua kerajaan Eropa yang berbeda: Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda.
Setelah memaparkan asal-usul istilah Indonesia dari berbagai pendapat, pada bab-bab selanjutnya Elson melangkah pada bahasan mengenai sejarah intelektual Indonesia awal dari gagasan dan ide terbentuknya Negara Indonesia dengan begitu detail dan komprehensif. Sungguh, usaha ini patut diacungi jempol, karena Elson adalah sejarawan non-Indonesia dan pembahasan mengenai ini telah luput dari pandangan sejarawan Indonesia sendiri.
Cara penyajian Elson dalam membedah politik Indonesia yang sangat memukau juga patut diacungi jempol. Selain itu, Ia juga piawai dalam menggambarkan para tokoh politik Indonesia saat berkomunikasi dengan rakyatnya. Sehingga membuat buku ini merupakan sejarah Indonesia penting untuk ditelaah, agar masyarakat Indonesia tidak melupakan sejarah nenek moyang terlebih para sejarawan Indonesia.
Nama Nusantara ini pula yang digunakan oleh Bernard HM Vlekke untuk judul bukunya Nusantara. A History of the East Indian Archipelago (1943). Sedangkan buku yang diterjemahkan ini berasal dari edisi kelima tahun 1961 dengan judul Nusantara: A History of Indonesia. Yang perbedaannya sangat jelas. Pada edisi 1961 ini ada perubahan sudut pandang dari Eropa sentris menjadi Indonesia sentris. Jika pada edisi 1943, (Bab 6), lebih memusatkan pada Jan Pieterszoon Coen, maka pada edisi 1963, bab tersebut lebih memusatkan pada Indonesia di masa Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen. Suatu perubahan sudut pandang dari masa sebelum dan sesudah Indonesia merdeka.
Hal tersebut cukup menarik mengingat Vlekke tentunya kita anggap sebagai pihak luar (apalagi dari Belanda) yang mengamati Indonesia dengan kacamata berbeda. Dan tidak tertutup kemungkinan pendapatnya tak lepas dari pandangan kolonial. Namun, anggapan ini terbantahkan, mengingat Vlekke pada tahun 1940 pergi ke Amerika bersama istrinya, Caroline, untuk bekerja di Nederlandsch Informatie Bureau, New York, sekaligus mengajar di Harvard University, Cambridge (Massachusetts).
Kemudian di Amerikalah Vlekke menulis buku Nusantara. Keadaan ini, membuat Vlekke harus bisa mengambil jarak dan bersikap ”netral” bagi publik Amerika serta tidak dapat memaksakan pandangan umum bangsa Belanda terhadap negeri koloninya. Apalagi memasukkan cerita kepahlawanan kolonialisme Belanda yang menggulirkan slogan ”Daar werd wat groots verricht' (Di sana dibangun sesuatu yang besar). Namun, sekaligus ia ingin menggambarkan makna penting kehadiran Belanda di Nusantara sebagai sine ira et studio (without anger and fondness).
Ada beberapa pendapat Vlekke yang berbeda dengan pendapat umum para sejarawan Belanda yang lebih menitikberatkan pada proses perluasan kolonialisasi. Misalnya saja bagi Belanda, persatuan Indonesia sebenarnya tidak ada dan sebenarnya berkat Belanda-lah ”persatuan” dari Sabang hingga Merauke itu ada. Kemudian Vlekke menjawab bahwa sebenarnya Indonesia bukan disatukan oleh kolonialisme Belanda melainkan penyatuan itu lebih disebabkan masa silam gemilang Indonesia yang disebut Nusantara.
Secara garis besar, tema-tema dalam buku ini masih sejalan dengan masalah-masalah yang muncul pada masa kini. Bagi generasi baru, membaca buku ini seperti membaca ”dongeng” Nusantara yang tentu juga harus diimbangi dengan sikap kritis. (Achmad Sunjayadi, Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI dan Erasmus Taalcentrum Jakarta).

0 komentar:

Posting Komentar