HISTORY OF
JAVA
History of Java merupakan buku asli Raffles (1817) yang terdiri atas
dua volume,
yaitu uraian inti tentang Jawa secara
lengkap dan informasi tambahan. Namun di dalam terjemahan ini, kedua volume tersebut telah disatukan.
Raffles
(1781-1826)
mengawali kariernya sebagai juru tulis sebuah perusahaan Hindia-Timur (1795). Menurut sebuah
biografi, Raffles dikenal sebagai seorang yang tekun, rajin belajar, ulet, dan berkemauan
keras. Raffles mempunyai
semua syarat sebagai penghasil mahakarya (masterpiece), sehingga mahakarya "The History of Java" dapat terselesaikan.
Raffles pertama kali berada di Jawa (1811) berperan sebagai
Lieutenant Governor of Java yang
bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal Inggris di India yaitu Lord Minto (Sir Gilbert Elliot
Murray-Kynynmond) yang kemudian meninggal pada tahun 1814 dan digantikan oleh Raffles. Namun pemerintahan Raffles hanya bertahan selama 5
tahun. Saat Jawa kembali ke tangan
Belanda, Raffles tengah menggagas dan mengerjakan
proyek arkeologi dan botani di Jawa. Kemudian sampai tahun 1823 Raffles menjadi Gubernur di Bengkulu yang memang berdasarkan suatu perjanjian tidak diserahkan ke tangan
Belanda
bersama Belitung, dan Bangka.
Dalam hatinya, Raffles masih sangat menyukai Jawa dan ia membenci
Belanda yang kembali
berkuasa di Jawa. Pada tahun 1819 Raffles menjalin kerjasama dengan
Tumenggung Sri Maharaja penguasa
Singapura dalam rangka menggagas pusat
perdagangan di Pulau Singapura. Kerjasam itu membuat Inggris
diizinkan mendirikan koloni di Singapura dengan syarat Inggris melindungi para pedagang Singapura
dari Belanda dan Bugis. Raffles bersumpah Singapura akan dijadikan koloni baru
yang meskipun kecil, namun akan jauh
lebih maju dari Tanah Jawa yang dikuasai Belanda. Raffles berupaya keras mewujudkan
sumpah. Sehingga Singapura
menjadi pusat perdagangan paling penting di wilayah Hindia Timur, sampai saat ini.
Pada tahun 1823
Raffles meninggalkan Indonesia (Bengkulu) karena situasi politik. Tiga tahun kemudian, tepatnya sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45, Raffles meninggal dunia. Meskipun ia meninggal dalam usia yang masih tergolong muda, telah banyak jejak yang ditinggalkan Raffles, antara lain :
Raffles meninggalkan Indonesia (Bengkulu) karena situasi politik. Tiga tahun kemudian, tepatnya sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45, Raffles meninggal dunia. Meskipun ia meninggal dalam usia yang masih tergolong muda, telah banyak jejak yang ditinggalkan Raffles, antara lain :
1.
Menggagas berdirinya Kebun Raya Bogor bersama ahli-ahli dari Inggris.
2.
Mendirikan Kebun Raya dan
kebun binatang yang terkenal di Singapura.
3.
Warisan budaya Jawa
digali dan ditemukan atas
prakarsa Raffles : Candi Borobudur (1814), Candi Panataran (1815), Candi
Prambanan (1815).
4.
Mendirikan Museum
Etnografi Batavia.
5.
Berperan sebagai administrator
pemerintahan di Jawa dan Bengkulu.
Semua
jejak dan karya Raffles itu terekam dalam buku History of
Java yang
juga merupakan referensi komprehensif
tanah Jawa.
Secara
garis besar, Raffles membagi bukunya ke dalam 2 jilid yang terdiri dari 11 Bab. Pada buku jilid 1 terdiri dari Bab 1 sampai Bab 7, sedangkan pada jilid 2 terdiri dari Bab 8 sampai Bab 11, yaitu sebagai
berikut :
Bab
1 : Kondisi Geografis Pulau Jawa (termasuk di
dalamnya keterangan geologi)
Bab
2 : Asal Mula Penduduk Asli-Jawa
Bab
3 : Pertanian di Jawa
Bab
4 : Manufaktur
(Industri) di Jawa
Bab
5 : Perdagangan di Jawa
Bab
6 : Karakter Penduduk di Jawa
Bab
7 : Adat Istiadat Penduduk di Jawa
Bab
8 : Ba hasa dan Sastra
Bab
9 : Agama
Bab
10 : Sejarah dari Awal-Munculnya Islam
Bab
11 : Sejarah dari Munculnya Islam-Kedatangan
Inggris
Dan lampiran-lampirannya berjumlah 12 (Lampiran A-M), yang garis besarnya sebagai berikut :
Lampiran
A : Kemunduran Batavia
Lampiran
B : Perdagangan dengan Jepang
Lampiran
C : Terjemahan versi moderen Suria Alem (sebuah
karya sastra)
Lampiran
D : Hukum pada Pengadilan Propinsi di Jawa
Lampiran
E : Perbandingan kosakata bahasa-bahasa suku di
Jawa dan sekitarnya
Lampiran
F : Cerita Pulau Sulawesi dan perbandingan
kosakata bahasa-bahasa suku
Lampiran
G : Angka-angka Candra Sengkala
Lampiran
H : Terjemahan Manik Maya
Lampiran
I : Terjemahan huruf
prasasti Jawa dan Kawi Kuno
Lampiran
J : Pulau Bali
Lampiran
K : Instruksi Pajak
Lampiran
M : Memorandum tentang berat, ukuran, dll.
Pembahasan History Of Java
Tidaklah
susah menemukan buku-buku yang mendeskripsikan keadaan Indonesia pada masa
kolonial. Beberapa buku tersebut antara lain History of Sumatra karya William
Marsden, History of The East Indian Archipelago karya John Crawfurd. Namun
tidak ada dari deretan karya tersebut yang begitu monumental layaknya The
History of Java, karya Thomas Stamford Raffles yang diterbitkan pertama kali
pada tahun 1817.
Monumentalnya
karya Raffles ini dapat dilihat dari kerapnya The History of Java dijadikan
acuan untuk menggambarkan Jawa pada masa kolonial, khususnya masa kolonialisme
Inggris yang sangat singkat di Nusantara. Bernard H.M.Vlekke dalam karyanya,
Nusantara, menyebut The History of
Java sebagai “campuran menawan deskripsi ilmiah, apologi, atau yang di zaman modern disebut pelaporan cerdas.”. Karena pengakuan itulah Penerbit Narasi terdorong untuk menerbitkan The History of Java dalam bahasa Indonesia.
Tidak hanya itu saja, monumentalnya The
History of Java juga ditopang oleh begitu kuatnya sosok Thomas Stamford Raffles
sebagai penulis yang terlibat langsung dalam pemerintahan Hindia Belanda
sebagai Gubernur Jenderal (1811-1816). Hal ini disebabkan
oleh pandangannya atas Hindia Belanda yang begitu berbeda dibandingkan masa
kolonial Belanda memegang pemerintahan. Begitu berpengaruhnya sosok Raffles
direfleksikan pula oleh Drs.Syafruddin Azhar dalam Pengantar edisi Indonesia
The History of Java.
Raffles
bukanlah tokoh dalam sejarah Inggris yang berasal dari kelas bangsawan.
Ayahnya, Benjamin Raffles hanyalah seorang tukang masak di sebuah kapal yang pada akhirnya menjadi kapten. Dan Ibunya, Anne Lyde Linderman.
Ketika Raffles masih muda, krisis ekonomi yang melanda
Inggris memaksanya mencari pekerjaan untuk menyokong
ekonomi keluarga. Dengan keuletan dan kecerdasannya ia berhasil menjadi Asisten
Sekretaris pada sebuah perusahaan untuk wilayah Kepulauan Melayu, yang pada akhirnya dipercaya sebagai Gubernur
Jenderal oleh Lord Minto.
Menurut
Vlakke, semasa pemerintahan
Raffles khususnya di Sulawesi dan Kalimantan tidak lebih damai dibandingkan dengan masa kolonial Belanda. Misalnya saja di Sulawesi yang terjadi
peperangan terus menerus dengan Bugis. Namun
Raffles punya keistimewaan, ia membawa perspektif seorang humanis di Hindia
Belanda
dengan mengkritik keras metode yang
digunakan oleh Belanda dalam menangani Hindia Belanda.Walaupun kemudian disebutkan dalam
bagian awal The History of Java bahwa ia tidak
bermaksud menggambarkan keseluruhan pemerintah Belanda di Hindia Belanda
sebagai tiran dan perampok.
Raffles
memulai kegubernurannya dengan tekad tegas menentang perbudakan dan berusaha
memperbaiki nasib para budak dengan menetapkan pajak khusus dan upaya-upaya
lain agar penduduknya berhenti memelihara para hamba\sahaya. . Hasilnya memang biasa-biasa saja, namun langkah tersebut tetap diingat sebagai langkah pertama menentang
peninggalan “zaman emas masa silam” yang sangat patut dicela. Dan Raffles tidak pernah mundur dari
tujuannya itu hanya karena perlawanan dari mereka yang ingin mempertahankannya,
baik itu orang Eropa maupun Indonesia.
Di dalam The History of Java masalah perbudakan hanya disinggung secara singkat oleh Raffles namun tetap
dengan keberpihakan yang jelas. Dan pada Bab II
buku ini
Raffles menyebutkan bahwa, “Pendudukan
pulau ini oleh bangsa Inggris pada tahun 1811 menyebabkan masalah budak menjadi
perhatian utama, meskipun kita tidak bisa langsung melarang perbudakan atau
membebaskan para budak yang ada, namun kita bisa sedikit memperbaiki dan
mengubah peraturan menyangkut praktek ini sehingga di masa depan seluruh budak
dapat dibebaskan.”(hal.47)
Hal
menarik
lainnya adalah mengenai pendapat seorang Raffles tentang karakter orang Jawa.
Berbeda dengan orang Belanda, Raffles melihat orang Jawa secara positif. Tidak
ada lagi propaganda tentang orang Jawa yang malas, pemarah, dan pembohong
sebagaimana yang biasanya dicitrakan kolonial Belanda. Mengenai pandangan orang-orang Belanda terhadap orang Jawa
dapat dilihat pada catatan resmi yang diberikan oleh Residen Dornick dari
Distrik Jepara pada tahun 1812. Dornick dalam catatan
resminya, sebagaimana dikutip Raffles, menyebutkan bahwa, “Jika orang Jawa
adalah orang yang berkelas, atau dalam keadaan yang makmur, maka mereka akan
terlihat sebagai orang yang percaya takhayul, sombong, pencemburu, suka
membalas dendam, kejam, dan bertindak seperti budak pada atasannya, keras dan kejam pada para bawahannya, dan pada
orang-orang yang tidak beruntung yang tunduk dalam wewenang mereka, mereka juga
malas dan lambat.”
Sebaliknya,
Raffles menyebut masyarakat Jawa sebagai penduduk yang dermawan dan ramah jika
tidak diganggu dan ditindas. Orang Jawa dalam hubungan domestik memiliki sikap
baik, lembut, kasih sayang, dan penuh perhatian. Sedangkan dalam hubungan
dengan masyarakat umum orang Jawa adalah orang yang patuh, jujur, dan beriman,
memperlihatkan sikap yang bijaksana, jujur, jelas dalam berdagang dan berterus
terang.
Perbedaan
ini disadari oleh Raffles akibat dari kolonial Belanda
yang melihat masyarakat Jawa secara parsial. Menurut Raffles, karakter sejati dari
penduduk pribumi bukan yang tampak pada pemimpin kelas rendah yang tunduk pada
otoritas bangsa Eropa. Raffles dengan brilian menyimpulkan bahwa pengetahuan
tentang orang Jawa harus lebih menitikberatkan pada golongan petani dan
peladang, yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan jumlah populasi, dan
ini diterima dan secara hati-hati diterapkan untuk kalangan yang lebih atas
darinya.
Beberapa hal yang telah
disebutkan itu hanyalah menunjukkan sebagian kecil dari sikap
seorang Raffles yang sangat jauh berbeda dari tokoh-tokoh sentral lain yang
pernah memegang kuasa sebelumnya, misalnya J.P.Coen. Raffles juga melakukan
reorganisasi lembaga-lembaga administratif dan peradilan di Jawa, reformasi
sistem pajak dan cukai, dan revisi atas perjanjian yang mengatur hubungan
pemerintah Batavia
dengan raja-raja Jawa. Tapi The History of Java tidak semata-mata menjadi
laporan hasil kerja Raffles. Buku ini juga mencatat berbagai hal tentang Jawa
secara detil, meliputi masalah geografis, kependudukan,
pertanian, perdagangan, adat istiadat, kesenian, bahasa, hingga agama, yang kemudian juga dilengkapi dengan gambar-gambar yang membantu deskripsi Raffles,
sehingga membuat The History of Java
menjadi layaknya ensiklopedia tentang Jawa yang ditulis pada abad 19. Selain itu buku ini juga
dilengkapi dengan lampiran tentang perbandingan
kosakata bahasa Melayu, Jawa, Madura, dan Lampung. Begitu kayanya data dalam
buku ini membuat sang penulis seakan-akan telah menulisnya berdasarkan
observasi puluhan tahun. Wajar jika kemudian Raffles meyakini bahwa tak ada
orang yang memiliki informasi mengenai Jawa sebanyak yang ia miliki.
Keterangan-keterangan
dalam teks-nya dilengkapi dengan catatan-catatan kaki yang detail. Referensi
berhubungan pada zamannya digunakannnya untuk memperkaya keterangan.
Saat
Raffles memerintah di Jawa terjadilah letusan gunung api dengan energi terbesar
di dunia dalam masa sejarah manusia : Tambora 1815 di Sumbawa. Dan, Raffles
sangat detail menggambarkan peristiwa letusannya sampai efek-efek kerusakannya.
Saya belum pernah menemukan keterangan lain sedetail keterangan Raffles tentang
saat-saat letusan dahsyat Tambora tersebut.
Demikianlah
sekilas memperkenalkan The History of Java (Raffles, 1817), sebuah buku tentang
Jawa yang sangat berharga untuk dipelajari demi kepentingan
masa kini.
Saat meninggalkan Jawa dan Sumatra, Raffles menangis meratapi alam dan penduduk yang
dicintainya, yang dihentikannya dari perbudakan, yang digambarkannya sebagai
"orang pribumi yang tenang, sedikit berpetualang, tidak mudah terpancing
melakukan kekerasan atau pertumpahan darah".
"I believe there is no
one possessed of more information respecting Java than myself." (Thomas
Stamford Raffles, 1817).
HISTORY OF THE EAST INDIAN ARCHIPELAGO
Dapat kita ketahui bahwa yang paling banyak mengetahui
sejarah terbentuknya Indonesia adalah justru kaum sejarawan yang bukan berasal
dari Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya keterangan mengenai
asal-usul terbentuknya Indonesia (The Idea of Indonesia) dari sejarawan asing
yaitu Sejarah Pemikiran dan Gagasan karya R.E. Elson yang berusaha mengenalkan
kembali serta mencari asal-usul dari gagasan terbentuknya Indonesia yang
dimulai sejak pertengahan abad ke-19. Tidak hanya itu, ia juga menelusuri lebih
jauh tentang berbagai jalan berliku yang telah dilalui Indonesia hingga mampu
eksis sampai sekarang.
Menurut Elson esksistensi Indonesia menjadi suatu
negara-bangsa merupakan sebuah keajaiban dan kemukjizatan. Hal yang menjadi
pertimbangannya adalah banyaknya tantangan serta bentuk-bentuk pemerintahan
yang dilaluinya teramat rumit dan musykil untuk dilalui. Misalnya saja kemunculan
nama ‘Indonesia’ yang menjadi bahan silang pendapat antar sejarawan.
1.
JR Logan (sejawaran Belanda dan editor majalah The Journal of
the Indian Archipelago and eastern Asia), disebut-sebut sebagai orang pertama
yang menggunakan istilah “Indonesia” buntu nama penghuni dan wilayah gugusan
nusantara secara geografis.
2.
Hal senada juga dikatakan Windsor Earl bahwa ”Indu-nesians” yang
menerangkan penduduk kepulauan nusantara termasuk ciri etnografis yang
merupakan bagian dari rumpun Polinesia yang berkulit sawo matang.
3.
Seorang antropolog
Prancis, E.T. Hamy pada 1877 mendefinisikan kata ”Indonesia” sebagai rumpun
pre-Melayu yang menghuni nusantara. Pendapat ini juga diikuti antropolog
Inggris, A.H. Keane pada 1880.
4.
Multatuli (nama lain dari Eduard Douwes Dekker), melalui
karya monumentalnya, Max Havelaar (1859) memperkuat teori Logan tersebut.
Multatuli menyimpulkan bahwa semua yang digagaskan JR Logan merupakan sebuah
potret otentik yang bisa kembali menggugah kesadaran yang semakin menguatkan
seluruh masyarakat dunia bahwa pada dasarnya gagasan Indonesia terbentuk jauh
pada abad-abad lampau.
5.
Terminologi Indonesia kemudian baru diberi makna politis
(dalam bentuk 'Hindia' yang harus merdeka) oleh Abdul Rivai, Kartini, Soewardi
Soeryaningrat, Douwes Dekker, Cipto Mangoenkoesoemo, dan lain-lain (1903-1913).
Nama 'Indonesia' mulai santer di kalangan mahasiswa asal Indonesia di Leiden
semasa Perang Dunia I sekitar 1917. Sam Ratulangie yang juga termasuk dalam
kelompok peduli Indonesia di Belanda giat pula mempopulerkan nama Indonesia di
tanah air. Misalnya ketika mendirikan perusahaan asuransi di Bandung dengan
nama, Indonesia pada 1925.
6.
Indische Vereeniging,
berubah menjadi Perhimpunan Pelajar Indonesia pada 1918. Namun dalam
perkembangannya hingga kini, terminologi Indonesia lebih dilekatkan pada negara
Indonesia. Indonesia dalam terminologi Logan berubah menjadi beberapa negara,
termasuk Indonesia, Singapura dan Malaysia. Penang masuk Malaysia. Semenanjung
Malaka dan Pulau Sumatra, yang kebudayaannya kental Melayu, terpisah menjadi
dua negara. Papua Barat, yang sama sekali tak masuk dalam khayalan Logan, malah
masuk wilayah Indonesia. Malaysia dan Indonesia menjadi dua negara berbeda
karena mulanya mereka disatukan secara administrasi oleh dua kerajaan Eropa
yang berbeda: Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda.
Setelah memaparkan asal-usul istilah Indonesia dari berbagai
pendapat, pada bab-bab selanjutnya Elson melangkah pada bahasan mengenai
sejarah intelektual Indonesia awal dari gagasan dan ide terbentuknya Negara
Indonesia dengan begitu detail dan komprehensif. Sungguh, usaha ini patut diacungi
jempol, karena Elson adalah sejarawan non-Indonesia dan pembahasan mengenai ini
telah luput dari pandangan sejarawan Indonesia sendiri.
Cara penyajian Elson dalam membedah politik Indonesia yang
sangat memukau juga patut diacungi jempol. Selain itu, Ia juga piawai dalam
menggambarkan para tokoh politik Indonesia saat berkomunikasi dengan rakyatnya.
Sehingga membuat buku ini merupakan sejarah Indonesia penting untuk ditelaah,
agar masyarakat Indonesia tidak melupakan sejarah nenek moyang terlebih para
sejarawan Indonesia.
Nama Nusantara ini pula yang digunakan oleh Bernard HM
Vlekke untuk judul bukunya Nusantara. A History of the East Indian Archipelago
(1943). Sedangkan buku yang diterjemahkan ini berasal dari edisi kelima tahun
1961 dengan judul Nusantara: A History of Indonesia. Yang perbedaannya sangat
jelas. Pada edisi 1961 ini ada perubahan sudut pandang dari Eropa sentris
menjadi Indonesia sentris. Jika pada edisi 1943, (Bab 6), lebih memusatkan pada
Jan Pieterszoon Coen, maka pada edisi 1963, bab tersebut lebih memusatkan pada
Indonesia di masa Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen. Suatu perubahan sudut
pandang dari masa sebelum dan sesudah Indonesia merdeka.
Hal tersebut cukup menarik
mengingat Vlekke tentunya kita anggap sebagai pihak luar (apalagi dari Belanda)
yang mengamati Indonesia dengan kacamata berbeda. Dan tidak tertutup
kemungkinan pendapatnya tak lepas dari pandangan kolonial. Namun, anggapan ini
terbantahkan, mengingat Vlekke pada tahun 1940 pergi ke Amerika bersama
istrinya, Caroline, untuk bekerja di Nederlandsch Informatie Bureau, New York,
sekaligus mengajar di Harvard University, Cambridge (Massachusetts).
Kemudian di Amerikalah Vlekke
menulis buku Nusantara. Keadaan ini, membuat Vlekke harus bisa mengambil jarak
dan bersikap ”netral” bagi publik Amerika serta tidak dapat memaksakan
pandangan umum bangsa Belanda terhadap negeri koloninya. Apalagi memasukkan
cerita kepahlawanan kolonialisme Belanda yang menggulirkan slogan ”Daar werd
wat groots verricht' (Di sana dibangun sesuatu yang besar). Namun,
sekaligus ia ingin menggambarkan makna penting kehadiran Belanda di Nusantara
sebagai sine ira et studio (without anger and fondness).
Ada beberapa pendapat Vlekke yang
berbeda dengan pendapat umum para sejarawan Belanda yang lebih menitikberatkan
pada proses perluasan kolonialisasi. Misalnya saja bagi Belanda, persatuan
Indonesia sebenarnya tidak ada dan sebenarnya berkat Belanda-lah ”persatuan”
dari Sabang hingga Merauke itu ada. Kemudian Vlekke menjawab bahwa sebenarnya
Indonesia bukan disatukan oleh kolonialisme Belanda melainkan penyatuan itu
lebih disebabkan masa silam gemilang Indonesia yang disebut Nusantara.
Secara garis besar, tema-tema
dalam buku ini masih sejalan dengan masalah-masalah yang muncul pada masa kini.
Bagi generasi baru, membaca buku ini seperti membaca ”dongeng” Nusantara yang
tentu juga harus diimbangi dengan sikap kritis. (Achmad Sunjayadi, Pengajar
di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI dan Erasmus Taalcentrum Jakarta).